Sabtu, 04 Maret 2017

ANUGRAH

Alhamdulillah
Anugrah terindah adalah orang-orang yang Allah siapkan untuk memahami dan menyayagi serta berbagi sepanjang hayat.Orang yang secara tidak disadari dia menyayangi kita secara tulus dan tanpa syarat.
Ya Allah terima kasih ya Robb..
Kenikmatan yang luar biasa adalah kesadaran diri untuk tetap berproses walau diri ini tertatih-tatih melangkah.Hamba yakin engkau maha pengasih lagi maha penyayang pada seluruh makhluk.
Hamba rela Ya robb jika itu memang caraMU egar hamba semakin kuat dan semakin berkualitas.
Jangan kau cabut iman kami,
Jangan kau jauhkan orang yang sayang dan menyayangi kami,
Jangan kau coba kami dengan sesuatu yang diluar kemampuan,
Jangan kau biarkan orang yang hamba sayangi menderita,
Jangan kau buka rahasiamu pada orang yang membuat kami menderita,
Jangan kau cabut anugrah terindah ;orang tersayang,orang terkasih dan orang yang selalu ada untuk hamba.Jadikanlah hati lemah lembut agar bias menerima kelembutan kasih sayangMU.Amin.
@Catatan seorang yang belajar berkasih sayang dengan tulus dan berproses menjadi berkualitas(UMI)
Istana Langit,5/3/2017

Jumat, 27 Desember 2013

DESEMBER

Jangan marah padaku kalau aku menangis... Hari ini saja... Kau boleh lihat sendiri nanti. Tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa... Aku janji. 
Fathan 
Aku menatap monitor, mengerjap. Berharap udara malam segera membenamkan kesadaranku agar lekas terlelap. Berkutat dengan pekerjaan kantor membuat saya akrab dengan insomnia, dan selalu ada seseorang yang turut lembur demi menemaniku sebatas pesan singkat agar Aku mampu mengerjakan semua tugas dengan baik. Sementara Aku khawatir dengan kesehatannya jika harus selalu tidur kurang dari tujuh jam. Aku segera menuju kamar mandi, mengambil wudhu’. Barangkali Tuhan akan segera menina bobokkanku setelah sujud panjang. ‘Sudah semua kerjaannya?’ Seseorang itu, yang kupanggil  
Rhea mengirim pesan singkat. Aku segera menekan tombol reply ‘Iya.. silakan istirahat, aku mau tidur’ *** Telah berkali-kali aku hayati, punggungmu saja Kau ajari aku mengintip dibalik jendela karena aku tak akan mengejarmu. Dari jarak ini, nyaman aku melihatmu sebatas punggung, tanpa bisa kutau ada bagian lain. Aku bahagia, aku bisa memiliki apa yang sanggup kumiliki. Menyadari bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa kupaksakan wujudnya. Rhea Pagi adalah waktu untuk bangun lebih awal, sekedar mengingat bahwa aku punya impian sederhana, mencintai seseorang sebelum matahari. Mengingat hal ini aku tersenyum saja di dekat jendela. Pertemuan kami adalah kebetulan sistematis, Tuhan saja yang tahu alurnya. Tidak juga aku atau dirinya. Siapapun tak bisa menebak misteri apa yang Tuhan siapkan di hari esok. Kami bertemu saat sekolah mengadakan seminar, memperingati hari lingkungan. Ia yang saat itu hadir sebagai staf baru di sekolah, bersama istrinya. Istri? Iya, dia bukan lelaki yang sendiri tapi layak kucintai sepenuh hati. Bukan, bukan karena ia tampan, bukan karena ia pandai. Aku tak punya alasan yang jujur tentang kenapa aku memilih ia untuk kusebut dalam doa-doa. Dan sejak kapan cinta butuh alasan selain karena Tuhan memang menitipkan? Tolong pahami, aku bukan orang ketiga, perempuan kedua atau apapun.. aku sama sekali tak mengganggu kebahagiaan mereka. Perasaan ini murni tanpa ambisi. Aku turut berbahagia untuk kebahagiaan mereka. Bagiku, cukup ada saja.. hafal kapan ia harus makan, minum obat dan istirahat. Mengingatkan untuk menjaga kesehatan bagai seorang saudara, berakrab ria dengan istrinya yang telah kuanggap kakak perempuanku sendiri. Menjadi bagian mereka bagiku sudah lebih dari cukup. Kak Fathan dan Mbak Kana. Kepada mereka berdua kuucapkan terimakasih sedalam-dalamnya, telah membuatku merasa penting hingga detik ini. Fathan Pagi selepas shubuh aku tiba di rumah, kudapati Kana tertidur di sofa, sepertinya kelelahan menungguiku semalam.Aku menghela nafas, perempuan yang baik. Sabarnya luar biasa mengahadapiku. “Bangun.. sudah adzan..” aku membangunkannya halus. Dia mengerjap dan segera bangkit mengambil tas dan membuka jas-ku. Ia mempersilakanku istirahat sebelum bersiap kembali ke kantor. Selang beberapa menit setelah mandi aku duduk saja, melihat-lihat catatan Dead line lalu Kana masuk, dengan wajah berbinar. Sedikit menerka apa yang akan dikatakannya selain mengingatkanku untuk makan teratur. “Mas, saya.. hamil” Aku terperangah. Kaget dan takjub. Benarkah? Bukankah aku sedang tidur dan bermimpi di pagi hari? Aku bertekuk di tempat, bersujud syukur kepada Tuhan. “Jangan lupa beritahu Rhea..” dia berkata, tulus. Seperti dicubit, hatiku nyelekit. Apa Rhea harus kuberitahu? Lalu bagaimana aku harus mengatakannya? Tuhan, perasaan ini milikmu, sungguh. Tolong beri aku hati yang adil sehingga tak sedikitpun, perasaan menjerumuskanku. Tidak sama sekali. Bagi Kana yang telah kunikahi bertahun-tahun aku telah berjanji untuk menjaganya sepanjang hidup. Dan bagi Rhea yang hingga saat ini tetap menjadi perempuan yang istimewa. Baginya hanya ada doa, sebab perasaan ini bukan berarti tuntutan untuk memiliki, melainkan bukti kesejatian dan pengorabanan untuk hal yang lebih terhormat, cinta Tuhan. Aku menghargai perjuangan istriku, yang entah bagaimana Tuhan menciptakan ketulusan yang besar dalam dirinya untuk mengikhlaskan perasaanku. Lalu Rhea, dengan bertahun-tahun perasaan yang tak pernah berkurang sedikitpun, bahkan saat dia berada ditengah banyak orang yang berharap padanya. Lalu kusebut apa semua ini? Aku tidak benar-benar tahu. Tapi aku paham, ini seleksi Tuhan untuk mendewasakan kami semua dengan cinta yang tidak biasa. Sederhana namun rumit. Kupeluk istriku, ingin rasanya berterimakasih.. Rasa sabar itulah yang membuatku tak akan menyia-nyiakannya. “aku berangkat kerja dulu..” aku segera pamit, ia mengangguk dengan sisa sumringah yang sejak tadi dia tunjukkan. Setengah jam kemudian, aku kembali sibuk dengan pekerjaan. Sesekali menyesap kopi dan memikirkan bagaimana cara mengabarkan kehamilan Kana pada Rhea. Dalam syukurku tadi aku berdoa, doa yang belum ingin kuberitahukan pada siapa-siapa. Aku bersandar di kursi, memandangi ponsel yang tergeletak pasrah di meja dengan wajah bimbang. Lekas kusambar ponselku dan memencet tombol call, Rhea. “Assalamualaikum..” “Waalaikum salam..” suara dari seberang sana, milik Rhea. Aku terkesiap, tak siap. Tapi terlanjur menelpon. “Kana hamil..” tanpa basa-basi aku mengabarinya. Ada jeda beberapa menit sampai kudengar iya bertakbir dan mengucap selamat. Aku sedikit lega. Respon itu yang kuharap, dan ia berulang kali mengucapkan selamat. Usahanya tidak sia-sia. Menasihatiku tiap aku enggan pulang ke rumah, mengingatkanku untuk menemani istriku di rumah. Kuakhiri percakapan kami dengan salam. Lalu aku kembali sibuk dengan pekerjaanku yang menumpuk. Rhea Kak Fathan akan menjadi seorang ayah. Mbak Kana hamil. Iya..dia hamil. Baru saja kak Fathan mengabariku lewat telepon. Aku bahagia, turut bahagia untuk mereka dan sedih untuk diriku sendiri. Baru semalam aku menangis dalam tahajjudku, berdoa untuk rasa rinduku yang panjang dan tak pernah habis. Jendela hidupku polos tanpa stiker, barangkali hanya cinta, dan cinta tak pernah butuh aksara untuk melukiskannya. Cukuplah doa dan air mata. Aku tau kak Fathan juga merasakan hal yang sama, jadi tak perlu kutambah bebannya dengan keluhan. Tak perlu kubuat ia sesak karena tangisanku. Cukup hujan saja yang menyaksikan. Ia bahagia, sesederhana itu kebahagiaanku. *** Empat tahun kemudian. Fathan Seorang bocah kecil berlari di beranda rumah, lalu terjatuh. Ia tidak menangis, namun bangkit berlari ke dekapanku. Hari itu minggu pagi. Aku memeluknya dan menatap mata lugu itu. Inilah muara itu, muara saja. Bukan hulu. Tak ada yang berakhir dan harus diakhiri. “Aaa..yah..” Ia menyentuh wajahku. Seorang perempuan datang membawakan kami bolu pisang. Kana. Aku tak perlu berharap apa-apa lagi. bagiku dan bagi Kana, Rhea adalah saudara yang baik, sangat baik. Ia mengajari kami bersabar dalam banyak hal yang tidak sesuai harapan. Dia mengajari kami bagaimana caranya menerima kenyataan dengan baik. Ia hadia dari Tuhan untuk hidup kami. Ini Bulan Desember, hujan turun lebih sering dari biasa, aku tau ia telah menerima bahwa ketulusan kadang kala tidak harus berbentuk ikatan. Cukup hati saja yang merasakan, cukup doa yang mengekalkan. Kutatap mata anakku, Wajahnya mirip Rhea. Doaku tempo hari terkabul, itu sudah lebih dari cukup.s

Minggu, 01 Juli 2012

لحظة


أيامي وليالي ليس لي فيهما إلا وقد كنت أهيم، من زمان إلى زمان من آن إلى آن من مكان إلى مكان أرتحل في أرض الرحمن... فكنت أتسائل إلى ما في البال...
 أكنت تبقي حياتك عن شيء ؟ فما بقي لك عن شيء... والحياة تقولها طويلة، فما هي في يدك إلا يسيرة...  فها أنا ذا الآن، لقد لقيت خيرة مخيرة ولم أجد قبلها أعظم خيرة. يا ربي... الحياة تدور فما أدري كيفما تدري إلا بها إليك أشكو وأعطي، الحياة تدور كما فيها الوقت يدور...
ثم آخذ وأسكت في لحظة...                                                                                                                 فأذكر ما يقولون، الوقت كالسيف وإن لم تقطع قطعك!  نعم، إنه سيف باتر فلا بد لي إليه إعوجاجه، فأنتقل و أتنبه إلى ما كنت في الصغار، حينما أهرول وألاحق شيأ... من منزل إلى الساحة من ساحة إلى آخر، أهرول وأتبع ما يتبعني فما هو إلا ظلّ مضلّ فألاحقه حتى أكون في الكبار، ولم أزل ألاحق ما يلاحقني حتى أصل إلى قاعة من قاعات المذكرة، آنذاك، جلست في المدرسة الإبتدائية... وأكثر أيامي وأوقاتي مستنفذ لمروري وخطوتي إليها.  فأصبحت من المنزل، لبداية خطوتي إلى المدرسة  وأنا في لبس الزي  والبزّة الرسمية، فيقولون أنني طالب المدرسة...  المجهّز بالدفاتر والكتب والقلم والمرسم  في المحفظة المصنوعة بالبلا ستيك الأسود والأبيض. (فربما ها هو ذا شيء ذو فكاهة في الزمان...)     ففيها أضمّ بالأصدقاء الصغراء والكبراء والأساتذة الذين جاؤوا من القرب والبعد العالمون والمتزينون بمحاسن الأخلاق والورع... ومن المدرسة أعيد خطوتي إلى المنزل حتى فأحرقتني الشمس على رأسي تدل على أنه نهاية الدرس، أتمنى على حصول ما أتمنى من العلوم والمعرفة والفوز والبركة.  هكذا كل أيامي وأوقاتي...  مهما كان ما أنال مكتوب ومقبول عند الله رب العزة والجلال.
ولكن، قلق قلبي... لم يزل يأمرني ويكلف... أن ألاحق شيأ... شيأ ما لا أدري.
إنني هائم...  إنني هائم...
وكم ألاحق ما يلاحقني من مكان إلى مكان من حين إلى حين حتى أكون مثل هذا الآن...  فما أجد ما أفاد إلي قط إلا وقد سبق كل شيء ووقت في الخسران.
 بالجملة أقول، كل شيئ في لحظة... يمر بالسرعة، إن كان ذلك في فيه والنبذة، والكلام والكتابة.
فبدى لي ان العيش في هذا الدار ليس شيء أهم إلا فحسب الانتظار... انتظار دار المنتظر في داره الرحمن الذي فيه الجنة والنار... والانتظار لا يخلو من نفوذ المسافات والأوقات،
ولذلك أقول لا نيل لك من أمل ولو بمثل الجبل إن لم تستخدم أوقاتك إلى ما يفيدك وما ينيل.. لأن إفادته إلى الصالحات والنافعات خير من الطالحات واللغات، هكذا في حياة الإنسان ألف قصة و شأن.
فأقول دوما، ياربي... طوبى لي أعبدك كل أيامي وأوقاتي، لولاك يا ربي ما كنت أدري إلى من أشكو سائر أموري.

Minggu, 25 Maret 2012

نور على نور

يا مولي..0
دع لي... أعتنق نورك الأنيق
ولو على ذلك لم أطيق
ولو في بحر أماني العميق
يا مولي... 0
أذن لي... بنورك ألوّن ليالك البهيم
لأعرف من هو ظا لم ورحيم
فبدى النعيم والجحيم

لأنّ نورك نور مبين
إليه أشتاق وأحين

الهيمان: عبدك العاصي اتآك

Rabu, 25 Januari 2012

PENJAMU MALAM

Agustina Putri

-Untuk pemberi mimpi di bulan Februari-

Kau pengukur benang

Yang menjamuku girang

Mengundangku tuk terus berenang

Di sepertiga malam yang panjang

Hingga jua….

Aku gila….

Dihadang bata yang mengistana