Jumat, 27 Desember 2013

DESEMBER

Jangan marah padaku kalau aku menangis... Hari ini saja... Kau boleh lihat sendiri nanti. Tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa... Aku janji. 
Fathan 
Aku menatap monitor, mengerjap. Berharap udara malam segera membenamkan kesadaranku agar lekas terlelap. Berkutat dengan pekerjaan kantor membuat saya akrab dengan insomnia, dan selalu ada seseorang yang turut lembur demi menemaniku sebatas pesan singkat agar Aku mampu mengerjakan semua tugas dengan baik. Sementara Aku khawatir dengan kesehatannya jika harus selalu tidur kurang dari tujuh jam. Aku segera menuju kamar mandi, mengambil wudhu’. Barangkali Tuhan akan segera menina bobokkanku setelah sujud panjang. ‘Sudah semua kerjaannya?’ Seseorang itu, yang kupanggil  
Rhea mengirim pesan singkat. Aku segera menekan tombol reply ‘Iya.. silakan istirahat, aku mau tidur’ *** Telah berkali-kali aku hayati, punggungmu saja Kau ajari aku mengintip dibalik jendela karena aku tak akan mengejarmu. Dari jarak ini, nyaman aku melihatmu sebatas punggung, tanpa bisa kutau ada bagian lain. Aku bahagia, aku bisa memiliki apa yang sanggup kumiliki. Menyadari bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa kupaksakan wujudnya. Rhea Pagi adalah waktu untuk bangun lebih awal, sekedar mengingat bahwa aku punya impian sederhana, mencintai seseorang sebelum matahari. Mengingat hal ini aku tersenyum saja di dekat jendela. Pertemuan kami adalah kebetulan sistematis, Tuhan saja yang tahu alurnya. Tidak juga aku atau dirinya. Siapapun tak bisa menebak misteri apa yang Tuhan siapkan di hari esok. Kami bertemu saat sekolah mengadakan seminar, memperingati hari lingkungan. Ia yang saat itu hadir sebagai staf baru di sekolah, bersama istrinya. Istri? Iya, dia bukan lelaki yang sendiri tapi layak kucintai sepenuh hati. Bukan, bukan karena ia tampan, bukan karena ia pandai. Aku tak punya alasan yang jujur tentang kenapa aku memilih ia untuk kusebut dalam doa-doa. Dan sejak kapan cinta butuh alasan selain karena Tuhan memang menitipkan? Tolong pahami, aku bukan orang ketiga, perempuan kedua atau apapun.. aku sama sekali tak mengganggu kebahagiaan mereka. Perasaan ini murni tanpa ambisi. Aku turut berbahagia untuk kebahagiaan mereka. Bagiku, cukup ada saja.. hafal kapan ia harus makan, minum obat dan istirahat. Mengingatkan untuk menjaga kesehatan bagai seorang saudara, berakrab ria dengan istrinya yang telah kuanggap kakak perempuanku sendiri. Menjadi bagian mereka bagiku sudah lebih dari cukup. Kak Fathan dan Mbak Kana. Kepada mereka berdua kuucapkan terimakasih sedalam-dalamnya, telah membuatku merasa penting hingga detik ini. Fathan Pagi selepas shubuh aku tiba di rumah, kudapati Kana tertidur di sofa, sepertinya kelelahan menungguiku semalam.Aku menghela nafas, perempuan yang baik. Sabarnya luar biasa mengahadapiku. “Bangun.. sudah adzan..” aku membangunkannya halus. Dia mengerjap dan segera bangkit mengambil tas dan membuka jas-ku. Ia mempersilakanku istirahat sebelum bersiap kembali ke kantor. Selang beberapa menit setelah mandi aku duduk saja, melihat-lihat catatan Dead line lalu Kana masuk, dengan wajah berbinar. Sedikit menerka apa yang akan dikatakannya selain mengingatkanku untuk makan teratur. “Mas, saya.. hamil” Aku terperangah. Kaget dan takjub. Benarkah? Bukankah aku sedang tidur dan bermimpi di pagi hari? Aku bertekuk di tempat, bersujud syukur kepada Tuhan. “Jangan lupa beritahu Rhea..” dia berkata, tulus. Seperti dicubit, hatiku nyelekit. Apa Rhea harus kuberitahu? Lalu bagaimana aku harus mengatakannya? Tuhan, perasaan ini milikmu, sungguh. Tolong beri aku hati yang adil sehingga tak sedikitpun, perasaan menjerumuskanku. Tidak sama sekali. Bagi Kana yang telah kunikahi bertahun-tahun aku telah berjanji untuk menjaganya sepanjang hidup. Dan bagi Rhea yang hingga saat ini tetap menjadi perempuan yang istimewa. Baginya hanya ada doa, sebab perasaan ini bukan berarti tuntutan untuk memiliki, melainkan bukti kesejatian dan pengorabanan untuk hal yang lebih terhormat, cinta Tuhan. Aku menghargai perjuangan istriku, yang entah bagaimana Tuhan menciptakan ketulusan yang besar dalam dirinya untuk mengikhlaskan perasaanku. Lalu Rhea, dengan bertahun-tahun perasaan yang tak pernah berkurang sedikitpun, bahkan saat dia berada ditengah banyak orang yang berharap padanya. Lalu kusebut apa semua ini? Aku tidak benar-benar tahu. Tapi aku paham, ini seleksi Tuhan untuk mendewasakan kami semua dengan cinta yang tidak biasa. Sederhana namun rumit. Kupeluk istriku, ingin rasanya berterimakasih.. Rasa sabar itulah yang membuatku tak akan menyia-nyiakannya. “aku berangkat kerja dulu..” aku segera pamit, ia mengangguk dengan sisa sumringah yang sejak tadi dia tunjukkan. Setengah jam kemudian, aku kembali sibuk dengan pekerjaan. Sesekali menyesap kopi dan memikirkan bagaimana cara mengabarkan kehamilan Kana pada Rhea. Dalam syukurku tadi aku berdoa, doa yang belum ingin kuberitahukan pada siapa-siapa. Aku bersandar di kursi, memandangi ponsel yang tergeletak pasrah di meja dengan wajah bimbang. Lekas kusambar ponselku dan memencet tombol call, Rhea. “Assalamualaikum..” “Waalaikum salam..” suara dari seberang sana, milik Rhea. Aku terkesiap, tak siap. Tapi terlanjur menelpon. “Kana hamil..” tanpa basa-basi aku mengabarinya. Ada jeda beberapa menit sampai kudengar iya bertakbir dan mengucap selamat. Aku sedikit lega. Respon itu yang kuharap, dan ia berulang kali mengucapkan selamat. Usahanya tidak sia-sia. Menasihatiku tiap aku enggan pulang ke rumah, mengingatkanku untuk menemani istriku di rumah. Kuakhiri percakapan kami dengan salam. Lalu aku kembali sibuk dengan pekerjaanku yang menumpuk. Rhea Kak Fathan akan menjadi seorang ayah. Mbak Kana hamil. Iya..dia hamil. Baru saja kak Fathan mengabariku lewat telepon. Aku bahagia, turut bahagia untuk mereka dan sedih untuk diriku sendiri. Baru semalam aku menangis dalam tahajjudku, berdoa untuk rasa rinduku yang panjang dan tak pernah habis. Jendela hidupku polos tanpa stiker, barangkali hanya cinta, dan cinta tak pernah butuh aksara untuk melukiskannya. Cukuplah doa dan air mata. Aku tau kak Fathan juga merasakan hal yang sama, jadi tak perlu kutambah bebannya dengan keluhan. Tak perlu kubuat ia sesak karena tangisanku. Cukup hujan saja yang menyaksikan. Ia bahagia, sesederhana itu kebahagiaanku. *** Empat tahun kemudian. Fathan Seorang bocah kecil berlari di beranda rumah, lalu terjatuh. Ia tidak menangis, namun bangkit berlari ke dekapanku. Hari itu minggu pagi. Aku memeluknya dan menatap mata lugu itu. Inilah muara itu, muara saja. Bukan hulu. Tak ada yang berakhir dan harus diakhiri. “Aaa..yah..” Ia menyentuh wajahku. Seorang perempuan datang membawakan kami bolu pisang. Kana. Aku tak perlu berharap apa-apa lagi. bagiku dan bagi Kana, Rhea adalah saudara yang baik, sangat baik. Ia mengajari kami bersabar dalam banyak hal yang tidak sesuai harapan. Dia mengajari kami bagaimana caranya menerima kenyataan dengan baik. Ia hadia dari Tuhan untuk hidup kami. Ini Bulan Desember, hujan turun lebih sering dari biasa, aku tau ia telah menerima bahwa ketulusan kadang kala tidak harus berbentuk ikatan. Cukup hati saja yang merasakan, cukup doa yang mengekalkan. Kutatap mata anakku, Wajahnya mirip Rhea. Doaku tempo hari terkabul, itu sudah lebih dari cukup.s